PAMEKASAN,MADURANET – Hamparan paving segi empat melapisi halaman gedung megah Islamic Boarding School Padepokan Kyai Mudrikah Kembang Kuning (IBS PKMKK), Desa Lancar, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan. Suara riang para santri bersahut-sahutan, karena bersamaan dengan hari kunjungan orang tua untuk anak-anaknya.
Di bawah pelataran halaman, tersimpan kolam-kolam ikan yang dipelihara untuk kebutuhan makan santri. Kolam-kolam ikan tersembunyi itu, menjadi salah satu kunci keberlangsungan pendidikan di IBS PKMKK).
Pesantren ini selama 3 tahun ini, jadi bahan pembicaraan. Bukan karena fasilitasnya yang modern, kelas sejuk karena ber AC, smart TV di masing-masing kelas, hingga satu santri satu laptop, melainkan karena biaya yang nyaris tak logis.
Cukup Rp10 ribu per hari untuk makan santri, ditambah Rp5 ribu per bulan untuk biaya kesehatan mereka.
“Banyak yang tidak percaya. Bahkan sampai ada peneliti dari salah satu kampus di Malang dan lulusan S3 Yordania kesini, dan pertanyaan mereka sama. Bagaimana cara IBS PKMKK bertahan, tapi begitulah cara kami bertahan,” kata Achmad Muhlis, Direktur IBS PKMKK saat ditemui Ahad (6/10/2025).
Muhlis bercerita, rahasia pertama terletak pada cara pondok memberdayakan masyarakat sekitar. Nasi untuk sarapan, misalnya, tidak dimasak di dapur pondok, melainkan dipasrahkan pada warga sekitar.
“Agar pengurus tidak perlu bangun jam tiga pagi. Santri tetap sarapan, warga mendapat pemasukan,” jelasnya.
Untuk makan siang dan sore, lauk diambil dari hasil ternak dan kebun pesantren. Lele, nila, dan sayuran segar jadi santapan rutin. Daging ayam sesekali hadir, begitu juga telur rebus.
“Semuanya diatur supaya gizi anak-anak tetap terjaga,” ujar Muhlis.
Hubungan dengan warga sekitar pun dirajut lewat kebutuhan kecil para santri. Jika ingin mencuci pakaian, memotong rambut, atau sekadar dipijat, mereka diarahkan menggunakan jasa tetangga.
“Dengan begitu, ekonomi pondok dan masyarakat saling menopang,” tambahnya.
Rahasia kedua adalah kemandirian ekonomi. Setiap pemasukan disisihkan untuk membeli bibit ikan atau sayuran.
“Rp400 ribu bisa untuk seribu ekor lele. Minggu berikutnya, bibit sayuran. Dari situ kebutuhan harian tercukupi,” terang Muhlis.
Pondok juga mengatur arus keuangan santri. Dengan sistem kartu, transaksi mereka tetap terkendali dan perputaran uang tidak lari keluar.
“Kalau keluar kita pakai PAR (melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses), kalau ke dalam kita pakai ABCD (Asset Based Community Development/ menggali potensi yang ada),” katanya.
Namun, daya tarik IBS PKMKK bukan hanya pada soal murah. Pondok ini juga membuka program gratis untuk yatim dan potongan 50 persen bagi keluarga tak mampu.
“Saya ingin pendidikan bisa dinikmati yatim, miskin, dan kaya di ruangan yang sama, dengan fasilitas yang sama,” ujar Muhlis.
Menurutnya, mengelompokkan anak didik berdasarkan strata ekonomi adalah bentuk kekerasan simbolik. Karena itu, IBS tidak memungut biaya pendaftaran maupun uang gedung.
Farid Firmansyah, dosen FEBI UIN Madura, mengaku kagum dengan kepedulian pengurus pesantren. Dua putranya yang kembar, Farel dan Faris, kini duduk di kelas 9 dengan capaian 3 juz hafalan Al-Qur’an serta sudah menulis dua karya ilmiah berbentuk buku.
“Yang membuat saya terharu, kalau anak sakit sehari saja tidak sembuh, langsung dibawa ke rumah sakit. Iuran kesehatannya hanya Rp5 ribu per bulan,” katanya.
Azizah, wali santri lainnya, menilai IBS PKMKK seperti mimpi. Tanpa uang gedung, tapi kelasnya ber-AC, ada smart TV, dan lingkungan bersih. Kalau di luar, biaya masuk saja bisa Rp5 juta sampai Rp10 juta.
Mohammad Faiz, siswa kelas 8, mengaku perubahan besar dirasakannya.
“Dulu saya malas bangun pagi. Sekarang terbiasa shalat berjamaah, belajar, dan tetap bisa main laptop untuk tugas,” katanya.
Pantauan di lapangan menunjukkan menu harian santri sederhana tapi bergizi: sayur bening, ikan lele goreng, ayam kuah, hingga telur rebus. Kebun pondok tampak rapi, kolam ikan di bawah paving bergerak riuh dengan ribuan ekor lele, dan suasana hijau halaman menjadi ruang bermain sekaligus tempat belajar.
Di sekitar pondok, geliat ekonomi mulai terasa. Warung kecil tumbuh di halaman, pedagang keliling datang dengan sepeda motor. Masyarakat menyambut santri dengan ramah.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.
Komentar post