PAMEKASAN, MADURANET – Di ujung utara Pamekasan, hamparan cabai, semangka, dan melon memecah citra lama Pantura, gersang dan selalu kekurangan air. Di sela tanaman yang tumbuh rapi itulah, Sakera Farm bernaung, sebuah komunitas petani yang justru lahir di masa genting pandemi Covid-19, 2020 silam.
Sutipyo, 35 tahun, Ketua Sakera Farm, masih ingat saat pertama kali mencoba peruntungan dengan cabai besar pada 2017 di Desa Dempo Barat. Lingkungan sekitar tak memberi banyak dukungan.
“Pantura kan kering. Air terbatas. Mana mungkin berhasil? kata orang-orang. saya dicibir, bahkan dianggap nekat,” cerita Sutipyo, Sabtu (27/9/2025).
Tapi panen cabai besar justru membuka jalan. Dari situ, ia melanjutkan ke tomat, lalu semangka dan melon.
“Sedikit demi sedikit saya ingin membuktikan, tanah pantura bisa produktif kalau dikelola dengan tekun,” ujar Sutipyo.
Lima tahun berjalan, Sakera Farm bukan lagi sekadar komunitas tani biasa. Dari Juli hingga September 2025, komunitas ini berhasil memanen 27 ton semangka.
Bahkan lahan yang masih tahap tanam, berpotensi menambah panen 35 ton lagi. Sehingga total, Sakera Farm bisa menghasilkan 62 ton sampai Oktober depan.
”Hasil itu tak hanya memenuhi pasar lokal, tapi juga merambah Jawa Timur hingga Bali,” sahutnya.
Sutipyo sendiri sehari-hari juga menjabat Kepala Sekolah SMKS Al Falah Dempo Barat. Latar belakangnya bukan akademisi pertanian. Ia alumnus PAI Al-Khairat dan D1 Informatika Unira, program beasiswa operator sekolah.
Pengetahuannya ditempa dari lapangan, sekitar 2015-2017, ia belajar pada pegiat pertanian Hanif di Ganding Sumenep, lalu ikut komunitas tani di Kadur Pamekasan, hingga mengikuti field trip PT Asterindo di Ambulu, Jember.
“Ilmu itu bisa dicari, asal mau belajar dan terjun langsung,” katanya.
Kini, Sakera Farm beranggotakan 30 petani dari Dempo Timur, Dempo Barat, Sana Tengah, Sana Dejeh, hingga Tokerbuy. Bagi mereka, komunitas bukan sekadar wadah usaha, melainkan ruang kekeluargaan.
“Kalau ada anggota panen, kami jadikan ajang silaturahmi,” kata Sutipyo.
Untuk bekal pengetahuan, mereka rajin menggandeng perusahaan obat-obatan pertanian dan suplier. Model gotong royong dijaga, mulai dari proses tanam hingga distribusi hasil panen.
Kerja kolektif membawa hasil panen Sakera Farm menembus pasar besar. Cabai dikirim ke Bali, sementara semangka dan melon dipasarkan ke Malang dan Surabaya lewat perusahaan mitra.
Sejak ada program Makan Bergizi Gratis (MBG), hasil panen mereka juga terserap ke masyarakat sekitar.
“Jadi produk kami tidak hanya ke perusahaan luar Madura, tapi juga dinikmati langsung oleh warga sini,” ujar Sutipyo.
Pantura selama ini identik dengan lahan tembakau dan keterbatasan air. Tapi Sakera Farm membalikkan anggapan itu. Dari lahan kering, mereka menumbuhkan ketahanan pangan berbasis komunitas.
Menurut Sutipyo, petani sebenarnya punya peluang besar. Hanya saja, keterbatasan akses pasar membuat banyak yang kehilangan motivasi untuk berinovasi.
“Kami ingin jadi teman yang memberi semangat. Di sini kami belajar, lahan gersang bukan alasan untuk berhenti. Justru tantangan untuk membuktikan kalau pertanian masih bisa jadi harapa,” katanya, sambil tersenyum lebar.
Adanya komunitas tersebut, mulai memotivasi para pemuda untuk mulai bertani. Tercatat, ada sekitar 15 pemuda ikut aktif dalam komunitas Sakera Farm.
Muhammad Haris (27), salah satu pemuda, anggota dari Dempo Timur, mengaku merasakan langsung dampaknya. Sekali panen, ia bisa mengantongi Rp45 juta dari modal Rp15 juta hanya dalam dua bulan.
”Alhamdulillah, ditengah sulitnya lapangan pekerjaan, dengan adanya komunitas ini saya bisa mandiri,” ucap haris dengan senyuman lebar.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.
Komentar post