PAMEKASAN, MADURANET— Direktur Islamic Boarding School Padepokan Kyai Mudrikah Kembang Kuning (IBS PKMKK), Achmad Muhlis, mengingatkan agar pesantren tidak kehilangan ruh dan nilai keberkahannya ditengah sorotan publik terhadap berbagai kasus yang menimpa lembaga pesantren.
Ia menginginkan bahwa barokah ilmu hanya akan hadir bila santri menjaga adab terhadap guru, bukan sebaliknya menjadi bentuk penghinaan atau pelecehan yang kini kerap muncul dalam bentuk simbolik.
“Ketakdiman dan kepatuhan santri jangan sampai meleset dari hakikatnya,” ujar Muhlis saat momen Hari Santri Nasional, Rabu (22/10/2025).
Peringatan itu disampaikan di tengah meningkatnya perbincangan publik tentang klaim perbudakan di pesantren dan sejumlah video viral, termasuk tayangan di Trans7 yang menampilkan dugaan praktik perbudakan simbolik. Salah satu yang ramai di media sosial adalah video seorang kiai yang memberikan jeruk kepada santrinya menggunakan kaki, aksi yang memicu perdebatan tentang batas antara penghormatan dan pelecehan.
Muhlis menilai fenomena tersebut tidak bisa disederhanakan sebagai “tradisi” atau “penghinaan”, melainkan perlu dikaji dari sisi nilai sufistik dan pendidikan karakter yang sejatinya menjadi ruh utama pesantren.
Ia mengutip surat Al-Hujurat ayat 11 dalam Al-Quran, bahwa Allah melarang keras perbuatan saling merendahkan.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum lain, karena boleh jadi mereka lebih baik dari yang mengolok-olok,” ujarnya menukil ayat tersebut.
Peringatan ini, kata Muhlis, sejalan dengan hasil riset ilmiahnya bersama Moch. Cholid Wardi dan Iik Arifin Mansurnoor dalam jurnal Ulumuna (2025) berjudul “The Demise of Sufi Values in Islamic Educational Institution: Bullying in Madurese Pesantrens.”
Penelitian tersebut menemukan menurunnya nilai-nilai sufisme, seperti akhlak dan tasawuf di sejumlah pesantren di Madura, yang berimplikasi pada meningkatnya perilaku bullying antara santri dan ustaz.
Dalam riset itu, Muhlis menjelaskan bahwa struktur hierarki di pesantren dan lemahnya kontekstualisasi ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari menjadi pemicu utama munculnya perbudakan simbolik yang dibalut dalam bentuk kedisiplinan dan kepatuhan.
“Pesantren seharusnya menjadi ruang pembentukan spiritualitas dan akhlak, bukan tempat reproduksi kekerasan simbolik,” ujar Muhlis.
Ia menegaskan bahwa lemahnya integrasi nilai-nilai sufisme menyebabkan munculnya pola relasi kekuasaan yang timpang antara guru dan murid.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.























































Komentar post