PAMEKASAN, MADURANET – Ketatnya aturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk pasien yang berobat langsung ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit (RS) Slamet Martodirdjo (Smart), mendapat keluhan dari sejumlah pasien peserta BPJS.
Sebab, bila penyakit pasien tidak mengancam jiwanya, dokter menolak menangani dan menyarankan agar yang bersangkutan berobat ke fasilitas kesehatan (Faskes) tingkat pertama, baik ke Puskesmas, klinik atau ke dokter keluarga peserta BPJS.
Namun bila pasien memaksa dan minta ditangani dokter di IGD, dengan alasan kondisinya tidak memungkinkan seperti hari libur atau malam hari, maka pasien tetap dilayani dan biayanya tidak ditanggung BPJS, alias sebagai pasien umum. Sehingga pasien terpaksa mengeluarkan biaya sendiri.
Seperti yang dialami, Ediyanto, warga Kelurahan Jungcangcang, Kecamatan Kota Pamekasan, mengaku kecewa, ketika memeriksakan anaknya ke UGD RSUD Slamet Martodirdjo pada saat hari libur Natal dengan menggunakan kartu BPJS. Saat itu anaknya mengeluh sakit kepala dan sakit perut. Sedang kondisi tubuhnya panas tinggi.
Dikatakan, begitu masuk UGD dan dokter yang menangani mengatakan, jika penyakit yang diderita anaknya ringan dan tidak emergency, maka biayanya tidak ditanggung BPJS. Tapi lantaran Ediyanto khawatir dengan kondisi anaknya, terpaksa menyetujui persyaratan itu.
Tapi, setelah anaknya ditangani dan diambil darahnya untuk diperiksa di lab, katanya penyakitnya ringan, sehingga terpaksa membayar biayanya sebesar Rp 235.000.
“Saya kan tidak bisa menentukan, apakah anak saya kondisinya emergency atau tidak. Sebagai orang tua, saat itu saya hanya khawatir dan minta ditangani. Kalau saya harus kembali ke puskesmas, tentu tidak mungkin,” kata Ediyanto, kepada MADURANET, Kamis (2/1/2025).
Menanggapi keluhan itu, Kepala Bagian (Kabag) Sumber Daya Manusia (SDM), Umum dan Komunikasi BPJS Kesehatan Kantor Cabang Pamekasan, Ary Udiyanto, mengatakan, alur untuk pengobatan bagi pasien ini diterapkan seperti itu, untuk menghindari penumpukan pasien yang datang ke IGD minta penanganan.
Menurut Ary Udiyanto, sesuai dengan regulasi BPJS Kesehatan, penjamin pasien yang berobat ke IGD rumah sakit, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 harus memenuhi salah satu kriteria. Seperti penyakit yang diderita pasien mengancam nyawa, membahayakan diri orang lain atau lingkungan. Adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
Lalu, adanya penurunan kesadaran pasien. Adanya gangguan hemodinamik, termasuk juga pada kasus trauma yang memerlukan tindakan segera.
“Jadi kalau hanya sakit biasa, seperti flu dan panas atau sakit pinggang yang tidak mengancam jiwa pasien, tidak masuk kategori emergency dan tidak perlu ke IGD,” kata Ary Udyianto.
Karena itu, maka pasien yang menderita penyakit yang tidak mengancam jiwanya, disarankan berobat ke faskes pertama yang terdapat UGD atau klinik. Karena jumlah rumah sakit terbatas dan di Madura terdapat sekitar 200 faskes pertama.
Namun kata Ary, tidak berarti UGD rumah sakit menolak pasien yang butuh penanganan medis. Sebab walau pasien memaksa dan datang ke UGD untuk berobat, maka yang bisa memastikan penyakitnya itu termasuk emergency atau tidak, bukan pasien sendiri, melainkan dokter UGD yang menentukan.
“Nah ketika si pasien datang ke UGD yang minta penanganan medis dan berdasarkan hasil diagnosa ternyata kondisinya benar-benar gawat dan butuh penanganan segera, maka yang pasti ditangani. Tetapi, bila penyakitnya tidak termasuk yang emergency, maka dokter UGD menyarankan pasien yang bersangkutan kepada fakes pertama,” papar Ary Udiyanto.
Dijelaskan, selama ini masih banyak warga yang belum paham tentang alur penanganan medis untuk pasien. Rujukannya berjenjang. Bila pasien berobat ke faskes pertama dan sesuai dengan indikasi medis dan perlu penanganan segera, maka dokter di fakes pertama itu yang merujuk ke rumah sakit, bukan peserta sendiri yang minta rujukan.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.
Komentar post