MADURANET- Beberapa waktu yang lalu, Prof Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menko Polhukam RI) mengatakan, setiap momentum Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia selalu diwarnai oleh kecurangan. Hanya saja, dikutip dari berbagai media, Pak Mahfud menjelaskan, ada perbedaan kecurangan antara pada masa Orde Baru dan setelah Reformasi. Letak perbedaannya, jika semasa Orde Baru yang curang itu Pemerintah, sementara ketika era Reformasi, pelaku kecurangan Pemilu justru adalah Peserta Pemilu itu sendiri, bukan Pemerintah.
Pernyataan Pak Mahfud ini tidak bisa dianggap sepele, karena beliau pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yang notabene adalah tempat pengadil sengketa Pemilu. Oleh karena itu, menjelang Pemilu 2024 ini, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu perlu mengantisipasi Kecurangan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Untuk itu, ada beberapa hal yang menurut penulis perlu dilakukan sebagai upaya langkah Antisipatif.
Baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dari Tahun ke Tahun, sudah mampu mensosialisasikan bagaimana partisipasi masyarakat semakin meningkat tiap Pemilu, terutama kepada Pemilih Pemula. Namun, Sosialisasi untuk mengawasi Pemilu kepada Masyarakat, penulis nilai masih sangat kurang, terutama di daerah-daerah.
Menurut penulis, sengketa Pemilu seringkali terjadi di daerah bukan di perkotaan. Sebagai warga Sumenep, seingat Penulis, setiap Pemilu yang rentan terjadi itu di wilayah Kepulauan. Jika kita Search di Google dengan kata kunci “Sengketa Pemilu Sumenep” atau “Sengketa Pilkada Sumenep”, itu yang terjadi di Wilayah Kepulauan. Begitu juga kita masih ingat Sengketa Pilpres 2019, terjadinya di Daerah Papua.
Atas dasar itu, perlunya penyelenggara Pemilu untuk memperkuat sosialisasi pengawasan terutama di daerah. Secara umum, masyarakat telah terbukti memiliki kesadaran untuk memilih sudah cukup tinggi. Hanya saja, mereka cenderung tidak peduli atau tidak mengerti jika terjadi kecurangan Pemilu yang mana hal itu merugikan Suara dukungan mereka. Sementara di sisi lain, personil pengawas pemilu yang berada di bawah Bawaslu, yakni Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) dan Panitia Pengawas Desa (Panwasdes) bisa dibilang sedikit.
Panwasdes biasanya hanya terdiri dari satu orang perdesa, sementara Panwascam hanya terisi tiga orang personil per Kecamatan, jauh berbeda dengan penyelenggara yang berada di bawah naungan KPU, seperti Panitia Penyelenggara Kecamatan (PPK) yang berjumlah 5 Orang Personil perkecanatan dan Panitia Penyelenggara Desa (PPS) dengan 3 orang personil perdesa.
Jika mengutip penjelasan Pak Mahfudz dari Merdeka.com, modus kecurangan pemilu itu terjadi mulai dari tingkat desa. Peserta Pemilu membayar orang tertentu di tempat pemungutan suara (TPS) untuk memalsukan hasil pemungutan suara mulai dari tingkat Kelurahan atau Desa, Kecamatan, dan seterusnya. Dari penyataan di atas, penulis menilai, sulit rasanya untuk memanipulasi hasil pemungutan suara tanpa keterlibatan pihak penyelenggara serta orang-orang yang punya pengaruh kuat di daerahnya. Tentu saja ini bukan kalimat tuduhan, tapi merupakan sebuah kecurigaan. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk setidaknya mengawasi suara pilihan mereka, maka hal itu akan meminimalisir kecurangan semacam itu.
Memang, penyelenggara telah memberikan ruang kepada kelompok masyarakat untuk menjadi Pemantau Pemilu. Namun, alangkah lebih efektifnya jika masyarakat secara umum diberikan literasi yang kuat dalam pengawasan. Sebab, tak sedikit lembaga yang terdaftat sebagai Pemantau itu hanya ada sampai pada tingkat kecamatan. Sebab, lembaga-lembaga itu tidak punya instrumen untuk menjakau ke daerah pedesaan atau kelurahan.
Sebagai contoh, Penulis merupakan pengurus Dewan Pimpiman Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI). GMNI secara resmi telah menjadi lembagai Pemantau Pemilu 2024 yang telah tersertifikasi oleh Bawaslu RI. Namun, secara kelembagaan, tingkat terbawah GMNI itu adalah Dewan Pengurus Komisariat (DPK) yang berada di Kampus-kampus. Sementara di tingkat Desa atau Kelurahan, GMNI tidak punya instrumen itu. Sehingga, secara Logis GMNI ‘hanya’ bisa memantau Pemilu di tingkat Kecamatan atau bahkan di tingkat Kabupaten atau Kota.
Dengan begitu, untuk kinerja pemantauan lebih efektif, maka diperlukan sosialisasi seperti yang telah diuraikan di atas. Dalam penguatan literasi pengawasan, pihak penyelenggara bisa melibatkan lembaga pemantau untuk turun ke tingkat Desa. Sebab pemantau yang terdaftar di Bawaslu itu ada banyak lembaga. Dengan begitu, kerja-kerja pemantau lebih jelas dan tidak terkesan hanya sebagai formalitas saja. Dengan sinergitas yang kuat antara Penyelenggara & Pemantau dalam gerakan literasi pengawasan, penulis yakin, kerja-kerja pengawasan akan semakin mudah, serta tingkat kecurangan juga semakin minim.
*Isi dalam tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.
Komentar post