Oleh: M. Suli faris. SH, mantan legislator Pamekasan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani secara resmi telah mengumumkan bahwa cukai rokok naik sebesar 12 persen berlaku mulai tanggal 1 Januari 2022. Pemerintah menaikkan cukai rokok karena empat faktor berikut. Pertama pengendalian konsumsi rokok, kedua optimalisasi penerimaan negara, ketiga keberlangsungan tenaga kerja di industri rokok, dan keempat peredaran rokok ilegal.
Empat alasan pemerintah antara yang satu dengan yang lain saling bertentangan, sehingga tidak logis bila dijadikan alasan pembenaran merumuskan kebijakan menaikkan harga cukai rokok. Misalnya saja, aspek pengendalian konsumsi rokok dengan aspek optimalisasi penerimaan negara dan aspek penyerapan dan keberlangsungan tenaga kerja dengan aspek pemberantasan peredaran rokok ilegal. Ibarat pepatah, “jauh panggang dari bara api”
Logis atau tidaknya alasan itu, pemerintah tetap ngotot menaikkan harga cukai rokok karena sudah dimasukkan dalam estimasi penerimaan negara sejenis pajak dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun 2022.
Dengan begitu dapat kita simpulkan bahwa kenaikan harga cukai rokok tujuan utamanya untuk meningkatkan pendapatan negara dan pemerintah telah menjadikan cukai rokok sebagai bagian dari sumber pendapatan negara.
Pemerintah tidak pernah memikirkan nasib petani tembakau yang harus menjadi korban dari kenaikan harga cukai rokok. Pemerintah seakan tidak tahu menahu bahwa setiap harga cukai rokok dinaikkan, tetap petani korbannya.
Padahal pemerintah bukan tidak tahu, bahwa pihak pabrik dalam rangka memenuhi kewajiban membayar beban cukai, pabrik tidak akan rela mengurangi laba atau keuntungannya setiap periodenya. Pabrik juga tidak akan menurunkan ongkos kerja bagi buruh dan karyawannya. Pabrik juga tidak akan menekan harga pengadaan komponen rokok seperti: gabus filter,kertas, plastik,lem,bungkus dan lain lain yang merupakan bahan pabrikan. Pabrik juga tidak akan menaikkan harga jual produknya secara berlebihan, karena akan mengganggu pada eksistensi produknya kepada konsumen.
Lalu, kira-kira bagaimana strategi pabrik rokok untuk memenuhi beban cukai pada pemerintah? Mungkin salah satu cara yang akan dilakukan, menekan harga pengadaan bahan baku berupa tembakau dan cengkeh. Karena tembakau dan cengkeh merupakan produk petani yang HET (harga eceran tertinggi) tidak diatur oleh pemerintah.
Artinya, stabilitas harganya tergantung pada kehendak pemilik modal. Padahal dari sisi hubungan kemitraan, seharusnya kedudukan antara pihak pabrik dan petani, berada dalam satu garis lurus. Pihak pabrik rokok dan petani bukan sebagai atasan dan bawahan, dan bukan pula sebagai buruh dan majikan. Keduanya saling membutuhkan. Pabrik rokok tanpa petani tidak akan bisa berbuat apa-apa. Begitu pula sebaliknya.
Perusahaan rokok punya banyak uang dan fasilitas untuk mengelola tembakau produk petani, tapi pabrik tidak punya lahan. Sementara petani yang punya lahan, tidak punya uang dan tidak punya alat untuk memproduksi rokok sendiri.
Oleh karena itu, perlu kearifan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengadvokasi petani agar tidak menjadi korban konspirasi pemilik modal pihak pabrik.
Faktanya, dalam beberapa tahun terakhir ini, petani sudah tidak bisa lagi menikmati hasil tembakau. Bahkan mereka cendrung merugi bila dihitung antara biaya produksi. Mulai dari penyiapan lahan untuk tanam tembakau, hingga mereka panen, apabila dibandingkan dengan uang yang mereka dapat dari hasil penjualan tembakaunya.
Saya masih ingat kisaran 20 tahun lalu, petani Madura menganggap daun tembakau itu sebagai daun emas. Karena pasca panen tembakau mereka bisa beli perhiasan, bisa bangun rumah, bisa bayar ongkos naik haji, menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, dan lain sebagainya. Tapi akhir-akhir ini tembakau bukan lagi sebagai daun emas, melainkan petaka tahunan. Modal yang dipakai untuk biaya tanam terus merugi.
Sebagai bagian dari petani, saya berharap kepada para kepala daerah dan DPRD di daerah penghasil tembakau, untuk tidak diam seribu bahasa terkait kenaikan cukai rokok ini. Petani butuh perlindungan dan advokasi. Buatlah struktur kelembagaan petani tembakau di masing-masing daerah. Paling tidak agar para petani dan pedagang bisa berkoordinasi sesama mereka dalam bargaining position.
Selama ini, posisi petani di hadapan pemilik modal sangat lemah. Karena itu, saatnya sekarang ada pihak yang bisa membantu petani untuk membangun suatu kekuatan perniagaan seperti gerakan yang dimotori oleh Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto tahun 1905, dengan mendirikan SDI (Syarikat Dagang islam) dan Nahdlatut Tujjar yang digagas oleh KH. Wahab Chasbullah, dengan tujuan adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat.
Yang kemudian SDI menjadi SI (Syarikat Islam) dan Nahdlatut Tujjar menjadi Nahdlatut Ulama (NU). Organisasi tersebut membuat penjajah Belanda tidak seenaknya memainkan nasib petani. Baik petani cengkeh, pala, jagung, padi, jahe, kacang dan komoditi lainnya.
Saya tidak setuju bila ada yang mengatakan pemerintah daerah tidak punya hak mengintervensi perusahaan yang mewakili pabrik rokok dalam melakukan pembelian tembakau. Karena gudang itu dibangun di atas izin pemkab (IMB), izin HO dan izin prinsip juga dikeluarkan oleh Pemkab. Bahkan izin pembelian tembakau juga dikeluarkan oleh Pemkab.
Artinya, Pemkab bukan tidak punya kapasitas untuk melakukan tindakan pada pihak gudang, bilamana pihak gudang melakukan kegiatan yang melanggar ketentuan tata niaga tembakau. Memang Pemkab tidak berhak menentukan harga tembakau karena Pemkab bukan pihak pembeli. Harga tembakau tetap menjadi hak pabrik rokok untuk menetapkannya.
Oleh karena, itu tugas dan kewajiban Pemkab mengawasi pihak gudang terutama pihak gudang yang pegang kuasa pembelian dari pabrik rokok, agar mereka membeli tembakau sesuai dengan harga yg di tetapkan pabrik.
Kepala Daerah harus bersikap tegas pada pihak gudang yang melanggar ketetapan harga dari pabrik dan melanggar peraturan daerah tentang tata niaga tembakau. Karena faktanya, dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa pihak gudang yang berkedudukan sebagai wakil pabrik dan pegang kuasa pembelian memainkan harga.
Misalnya ketetapan pabrik harga per kilo Rp 32.000 sampai Rp 52.000. Harga pabrik kalau di di rata rata Rp 41.000 per kilo. Sedangkan mereka justru membeli tembakau petani dari harga Rp 20.000 sampai Rp 34.000. Kalau rata rata harga pembelian mereka kurang lebih Rp 27.000, mereka menjual ke pabrik sesuai dengan harga pabrik induk rata rata R 41.000, tinggal dihitung berapa keuntungan mereka dan berapa kerugian petani.
Dari uraian di atas, petani dicekik oleh perusahaan. Kondisi ini telah berulang-ulang disampaikan pada pemerintah daerah, tetapi tidak pernah ada respons. Justru tim pemantau tata niaga tembakau yang dibentuk Pemkab dan dibiayai oleh APBD, hanya berkutat pada persoalan klasik. Misalnya, besar kecilnya sampel tembakau, potongan tikar dan tonase pembelian harian masing masing gudang. Sedangkan persoalan yang jauh lebih urgen yang merugikan petani, tidak diperhatikan sama sekali.
Selanjutnya, terkait dengan kenaikan cukai, harus ada penolakan dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung, dimana kebijakan tersebut merugikan hajat umat.
Kalau pemerintah hanya ingin menambah pendapatan negara, masih sangat banyak yang bisa dioptimalkan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sumber pendapatan lainnya. Seperti merevitalisasi BUMN yang selama ini selalu rugi dan mengurangi angka kebocoran pendapatan baik dari sektor pajak atau non pajak yang selama ini banyak dikorupsi.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.
Komentar post