PAMEKASAN, MADURANET – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Pamekasan, merasa belum tuntas mengawal kasus tambang ilegal galian C di Kabupaten Pamekasan. Mereka kembali turun ke jalan berunjuk rasa ke kantor bupati Pamekasan, bersama dengan ratusan kadernya pada Kamis (17/6/2021).
Setahun yang lalu, tepatnya pada Kamis 25 Juni 2020, ratusan massa PMII Cabang Pamekasan berunjuk rasa ke kantor bupati Pamekasan. Dalam aksi tersebut, mahasiswa sampai bentrok dengan aparat kepolisian yang menyebabkan 1 mahasiswa dilarikan ke rumah sakit setelah kepalanya bocor diamuk oleh polisi.
Aksi kali ini, tidak lagi diwarnai bentrokan dengan aparat. Namun, mereka melakukan blokade kantor bupati Pamekasan dari pintu masuk dan pintu keluar. Seluruh penghuni kantor, mulai dari ASN hingga anggota DPRD Pamekasan, tidak bisa keluar kantor.
Moh. Lutfi, Ketua PMII Cabang Pamekasan mengatakan, aksi tersebut untuk menagih janji bupati Pamekasan Badrut Tamam, DPRD Pamekasan dan Polres Pamekasan untuk menghentikan penambangan ilegal galian C yang tersebar di 219 titik di Kabupaten Pamekasan. Setahun yang lalu, Pemkab Pamekasan berjanji akan menutup seluruh penambangan. Polisi akan menindak bagi yang memaksakan diri melakukan penambangan.
“Kami datang untuk menagih janji. Setahun kalian bekerja apa kok penambangan masih dibiarkan. Kalian tidak becus menangani perusakan lingkungan di Pamekasan,” kata Moh. Lutfi dalam orasinya.
Tidak becusnya penanganan tambang ilegal di Pamekasan, ditengarai oleh Lutfi, karena bupati dan aparat keamanan takut kepada oligarki tambang. Atau, kuat dugaan bahwa oknum pejabat pemerintah daerah dan aparat keamanan dan penegak hukum lainnya, menerima keuntungan besar dari hasil pertambangan.
“Presiden Jokowi dan Kapolri tegas mengintruksikan agar prema dilawan dan dibabat habis. Di Pamekasan, preman tambang justru bebas melakukan perusakan lingkungan tanpa ada penindakan,” ungkap mahasiswa Universitas Madura ini.
Menurut Lutfi, pemerintah selalu beralasan soal perijinan tambang yang bukan wewenangnya sehingga enggan untuk melakukan penindakan. Padahal, pemerintah bisa menggunakan perangkat hukum lainnya untuk mejerat mereka. Di antaranya Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan, Undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang mineral dan batu bara, serta Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan no 13 tahun 2014 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Al Anwari, anggota DPRD Pamekasan yang menemui massa mengatakan, tuntutan PMII setahun yang lalu sudah disampaikan ke Bagian ESDM Provinsi Jawa Timur. Sebagai anggota dewan, tugasnya hanya menyampaikan aspirasi kepada yang berwenang. DPRD Pamekasan tidak memiliki kewenangan dalam mengambil tindakan yang tidak didasari oleh hukum.
Sementara itu, Pelaksana Harian Sekretaris Daerah Kabupaten Pamekasan, Agus Mulyadi menjelaskan, persoalan ijin tambang di Pamekasan sama sekali tidak memiliki kewenangan. Pemerintah daerah sifatnya hanya memberikan rekomendasi kepada perusahaan yang mau melakukan penambangan. Sedangkan penindakan kepada pelanggaran penambangan, merupakan tugas aparat.
“Kami sudah melakukan verivikasi dan validasi penambang ilegal di Pamekasan dan sudah dilaporkan ke Kementrian ESDM. Soal ijin, itu urusan pemerintah pusat,” kata Agus Mulyadi.
Usai mendapatkan penjelasan, massa PMII enggan meninggalkan kantor bupati Pamekasan. Mereka menunggu bupati Pamekasan, Badrut Tamam menemui mereka. Selama Badrut Tamam tidak menemuinya, maka pintu kantor bupati akan diblokade.
“Kami tidak butuh penjelasan apapun dari bawahan bupati. Kami minta Badrut Tamam menemui agar urusan tambang ilegal di Pamekasan segera dituntaskan,” ujar Lutfi lagi.
Hingga pukul 16.30 WIB, Badrut Tamam tidak juga menemui massa. Akhirnya, perwakilan dari DPRD Pamekasan kembali menemuinya. Massa kemudian sepakat membubarkan diri. Namun, mereka akan kembali mendatangkan massa untuk mengawal sampai tuntas persoalan tambang di Pamekasan.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.
Komentar post