Saya bangga berkiprah di tanah kelahiran (Pamekasan) dan saya bangga menjadi orang Pamekasan. Saya bangga bukan karena pencitraan, tapi kebanggan yang memang terbangun di atas tabiat ketimuran yang membanggakan.
Bangga dengan keindahannya Pamekasan, bangga dengan kekayaan alamnya baik di darat maupun di lautnya, dan juga dengan kebesaran sejarahnya Pangeran Ronggosukowati
Tapi seperti yang berulang kali saya sampaikan, yang paling membanggakan tentang Pamekasan ini adalah manusia dan konsep kehidupannya dan berbangsanya. Manusia yang ramah, sopan, serta memiliki budi pekerti yang tinggi. Manusia yang senantiasa mengedepankan kelembutan dan perdamaian di atas kekerasan dan konflik. Mengedepankan persahabatan dan kerjasama di atas permusuhan dan perpecahan. Serta mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal, ketimbang memaksakan kepentingan sempit kelompok dan golongan tertentu.
Nilai-nilai universal yang kita maksud itulah yang terpatri dalam konsep politik modern yang disebut dengan demokrasi. Sebuah konsep politik yang hingga kini masih diyakini dan disepakati oleh rakyat dan pemerintah Indonesia. Masyarakat Pamekasan, juga menjunjung tinggi nilai universal dalam membangun kehidupan kolektif manusia.
Yang paling membanggakan lagi, Pamekasan sekaligus mampu mematahkan hipotesis sebagian orang, bahwa demokrasi dan Islam adalah dua hal yang paradoks. Argumentasi Pamekasan bukan sekedar dalam bentuk konsep dan teori. Tapi dengan bukti dan realita. Maka jadilah Pamekasan dengan keislaman yang mampu mengadopsi nilai-nilai demokrasi universal tadi.
Dua hal yang oleh sebagian orang dianggap “paradoxical” (tertolak belakang). Hanya segelintir umat Islam yang mampu mengawinkan keduanya (Islam dan demokrasi). Saya selalu bersemangat (walau diam-diam) ikut beberapa kali menabur benih demokrasi. Entah kenapa. Saya sendiri belum terlalu paham.
Namun, belakangan saya mulai memahami ternyata itu adalah bagian dari insting alami warga yang menghendaki Pamekasan menjadi bagian dari demokrasi.
Kebebasan berekspresi dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan publik, dijunjung tinggi. Kebebasan berbicara terbuka dan demonstrasi pun di mana-mana, seringkali terjadi. Kebebasan pers juga demikian. Sehingga mengkritik pemerintah dianggap tabu bahkan menakutkan, kini menjadi biasa bahkan menjadi konsumsi rutin yang menyehatkan.
Barangkali yang paling menggembirakan dari fenomena terbangunnya kehidupan berdemokrasi itu, adalah ketika partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi tumbuh dengan semangat yang sangat luar biasa. Hal ini sekaligus menjadikan Pamekasan sebagai kota demokratis.
Sebagai putra kelahiran Jl.KH. Shinhaji Jungcangcang, tentu sangat wajar bergembira. Menjalani hidup di Pamekasan, saya melihat Pamekasan yang memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk berekspresi dan berpartisipasi dalam kehidupan publik mengalami prospek yang lebih baik. Tentu harapan saya tetap agar rakyat Pamekasan dalam kemajuan dan kemakmuran nanti, tetap terbangun di atas nilai-nilai agama yang memang sejak turun temurun telah menjadi akar kehidupan masyarakat.
Tapi di tengah harapan itu juga tumbuh kekhawatiran yang besar. Kekhawatiran itu beralasan karena kasus-kasus mutakhir di Pamekasan memberikan signal yang kurang baik. Bahkan cenderung menjadi bumerang bagi pertumbuhan demokrasi itu sendiri. Karena Demokrasi bukan hanya kotak suara semata. Kita harus berdiri di pihak mereka yang mencari kehidupan lebih baik, ketika politik mengajarkan bahwa tugas politikus sesungguhnya melaksanakan kehendak rakyat.
Salah satu fenomena mutakhir yang bisa menjadi ancaman demokrasi adalah terjadinya “transaksi kepentingan” politik dalam birokrasi. Hal lain yang mengkhawatirkan huga adalah, terjadi tekanan-tekanan yang mengarah kepada pemaksaan untuk meloloskan kemauan kelompok tertentu. Hal ini akan menjadi kanker dalam tubuh demokrasi, karena dunia demokrasi hanya mengenal kompetisi dan bukan pemaksaan.
Ancaman dan intimidasi untuk memaksakan kehendak, lambat laun tapi pasti akan melemahkan bangunan demokrasi itu sendiri.
Hal lain yang paling berbahaya bagi kelestarian demokrasi, adalah ketika hukum tidak lagi menjadi acuan. Hukum hanya menjadi slogan di atas kertas dan konsep. Ketaatan terhadap hukum, hanya menjadi pembicaraan palsu untuk menutupi borok pelanggaran hukum itu sendiri.
Tindakan seperti di atas tidak saja secara moral etika salah, tapi juga menjadi racun bagi kehidupan berdemokrasi. Saya sungguh mengrapkan bahwa ketidaksetujuan apapun yang terjadi dalam masyarakat, hendaknya diselesaikan melalui jalur hukum.
Pada akhirnya kebebasan dalam berdemokrasi bukan kebebasan tanpa batas. Tapi kebebasan yang dibatasi oleh batas-batas hukum yang ada. Di saat kebebasan telah menginjak-injak supremasi hukum, maka itu bukan kebebasan sehingga kegiatan-kegiatan masyarakat akan dianggap ancaman.
Jika ini terjadi, maka perilaku one man one show kembali hidup. Bahkan lebih berbahaya lagi karena kini terbungkus oleh retorika demokrasi.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.
Komentar post