MADURANET – Bocah-bocah kecil menghampiri beberapa kendaraan yang berhenti di traffic light Jl. Jokotole Pamekasan. Bermodal gitar mini, mereka menyanyikan beberapa lagu sambil berpindah dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya. Lagu yang dinyanyikan, terkadang pop Indonesia, dangdut bahkan lagu Dedy Kempot berbahasa Jawa, dengan ambyar mereka nyanyikan.
Dari beberapa lagu yang dinyanyikannya, mereka memungut uang receh dari tangan pengendara yang merasa iba. Tak menjadi jaminan, setiap pengendara roda empat, baik yang biasa-biasa hingga harganya di atas Rp 1 miliar, mau memberikan koin kepada mereka.
Terik mentari, gerimis hujan tidak mereka pedulikan demi uang receh. Dengan wajah kusut, sebagian dari mereka ada yang berkaos bau apek, celana compang-camping, rambut awut-awutan, bersandal jepit, berkalung rantai, bahkan ada yang bertato. Dengan uang receh, mereka seperti disumpal mulutnya untuk berbicara dengan orang lain.
“Adik tinggal dimana?” tanya Maduranet.
Tak satupun dari tiga bocah yang ditanyakan ada yang mau menjawab. Padahal, uang lima ribuan sudah dimasukkan ke dalam botol plastik yang mereka sodorkan kepada pengendara. Mereka cuek. Tak mau berkomunikasi dengan pengendara. Mereka terus asyik dengan lagu-lagu yang dinyanyikannya.
Setelah lampu menunjukkan warna hijau, satu persatu mereka berhamburan ke atas trotoar sambil menghindari laju kendaraan. Uang yang sudah dikumpulkan dari pengendara, mereka masukkan ke dalam kantong celananya. Baru mereka membakar rokok yang diambil dari kantong celana lainnya.
Biasanya, di pagi hari mereka belum beraksi di beberapa perempatan di dalam kota. Misalnya, di Jl. Jingga, Jl. Jokotole, Jl. Stadion, Jl. Diponegoro dan Jl. Trunojoyo. Di atas pukul 10.00 WIB, mereka mulai menempati jalan-jalan protokol tersebut. Beroperasinya, mulai siang sampai malam hari. Bahkan sampai pukul 22.30 WIB, mereka masih terlihat berkeliaran.
“Akhirnya risih juga melihat mereka ngamen di jalan setiap hari. Apalagi kelihatannya mereka kumuh dan jorok,” kata Nurul Arifin, salah satu tenaga honor Pemkab Pamekasan yang setiap hari wira-wiri di Jl. Jokotole, Sabtu (4/1/2020).
Menurut pribadi Nurul, setiap pengendara, khususnya roda dua, merasa tidak nyaman ketika tidak memberi. Ada tekanan batin yang seakan-akan memaksa untuk memberi kepada mereka.
“Kadang tatapan mereka itu sinis. Bagiku jadi tidak nyaman dan tidak mungkin setiap hari ngasih mereka uang karena itu tidak mendidik,” imbuhnya.
Dari mana asal mereka? Andy, warga Kelurahan Barurambat Timur saat ditanya terkesan menutupi asal para pengamen tersebut. Namun, asal mereka tidak jauh dari lokasi sekitar tempat mereka ngamen.
“Pastinya saya tidak tahu tempat tinggal mereka. Mungkin anak-anak sekitar lampu merah itu,” ujar Andy.
Sekitar awal bulan Mei, bocah-bocah pengamen di jalanan itu mulai “menyerbu” sejumlah jalan yang dipasang traffic light. Mereka tidak takut ditertibkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja. Bulan Desember 2019 kemarin, Satpol PP pernah melakukan razia di malam hari. Namun, bocah-bocah itu berhasil melarikan diri melewati gang-gang, dan lolos dari tangkapan Satpol PP.
Ainurrahman, Kepala Seksi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP Pamekasan, mendapat banyak keluhan dari masyarakat. Keberadaan pengamen jalanan itu, sudah cukup meresahkan.
“Sudah pernah kita coba untuk menertibkan. Tapi mereka kembali lagi,” ucap Ainurrahman.
Biasanya, di dalam kota ada pengamen yang berkeliling kampung, ke rumah-rumah warga di saat sore hari. Penampilan mereka terlihat rapi. Rambutnya klimis, pakaiannya bersih, alat musik yang dibawa tidak hanya gitar, tapi ada juga gendang dari pipa bekas dan tamborin dari bekas tutup botol minuman yang sudah dipipih. Mereka terlihat sangat komunikatif dengan warga. Bahkan terbilang cukup ramah. Sehingga, warga tidak enggan untuk memberikan uang receh kepada mereka.
Mereka berasal dari kecamatan pinggiran kota, seperti Kecamatan Tlanakan dan Kecamatan Proppo. Iim, salah satu pengamen yang mengaku berasal dari Desa Branta Tinggi, Kecamatan Tlanakan bercerita jika pagi sampai siang masih sekolah. Bersama teman-temannya, sudah sepakat jika jadwal mengamen di sore hari sampai malam hari.
“Kami ngamen sambil cari duit dan hiburan agar tidak stres. Sudah senang masih dapat duit. Hasilnya, bagi rata,” terang Iim yang didampingi tiga temannya.
Ditanya soal bocah pengamen di jalanan, Iim mengaku tahu asal tempat tinggal mereka. Namun enggan untuk disebutkan di media. Alasannya, agar tidak ada ketersinggungan kepada pengamen jalanan.
“Kalau yang di jalanan, beda dengan kami yang ngamen ke kampung-kampung. Mereka ada kelompoknya sendiri-sendiri,” ungkap Iim.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.
Komentar post